mengumpulkan kitab para ulama

Mengobarkan Semangat Untuk Mengumpulkan Kitab Para Ulama

Kitab: Harga Paling Berharga bagi Seorang Penuntut Ilmu

Di antara tanda yang menunjukkan perhatian seseorang kepada ilmu agama adalah adanya semangat yang tinggi untuk dapat memiliki dan mengumpulkan kitab para ulama. Sungguh, kita akan merasakan kenikmatan ketika kita menyibukkan diri membaca dan memahami tulisan-tulisan para ulama dalam kitab-kitab mereka. Inilah kebahagiaan seorang penuntut ilmu yang sejati. Kitab itulah teman kita, yang akan menemani di saat kita sepi sendiri, yang akan menemani hari-hari kita, di manapun kita berada. Kitab itulah harta yang sebenarnya, simpanan yang kekal manfaatnya meskipun kita meninggal dunia. Jika kebanyakan orang berlomba-lomba untuk mengumpulkan harta, maka seorang penuntut ilmu sejati akan bersegera dan berlomba-lomba dalam mengumpulkan sebanyak mungkin kitab-kitab syar’i, karena kitab itulah hartanya yang paling berharga.

Namun, sangat kami sayangkan, sedikit sekali di antara kita yang berkeinginan untuk membeli kitab atau (minimal) buku agama terjemahan. Jangan sampai kita merasa rugi ketika membeli kitab. Bukankah kalau ternyata kita nanti memang belum sempat membacanya sampai ajal tiba, kita masih bisa mewariskannya kepada anak cucu keturunan kita? Menurut yang kami lihat, salah satu faktor mengapa kita “merasa berat” untuk membeli kitab adalah karena merasa tidak bisa bahasa Arab. Buat apa membeli kitab, toh pada akhirnya juga tidak akan dibaca karena belum bisa bahasa Arab. Jika memang demikian alasannya, sampai kapan kita akan maju belajar bahasa Arab? Mengapa kita tidak berfikir sebaliknya? Justru ketika memiliki kitab dan kita merasa belum bisa membacanya, bukankah itu justru faktor pendorong yang sangat besar bagi kita untuk kemudian belajar bahasa Arab agar kitab yang kita miliki tidak sia-sia? Renungkanlah hal ini.

Kadang kita begitu semangat menghabiskan uang untuk membeli pulsa setiap bulannya, namun mengapa kita merasa berat untuk membeli sesuatu yang bermanfaat untuk agama kita? Padahal bisa jadi pulsa itu lebih banyak kita gunakan untuk hal-hal yang kurang bermanfaat dan sia-sia belaka. Mengapa hati kita tidak tergerak untuk membelanjakan harta di jalan kebaikan? Di manakah kecintaan kita terhadap ilmu syar’i?

Agama Allah Ta’ala tidaklah ditolong kecuali oleh orang-orang yang jujur dan ikhlas. Mereka adalah orang-orang yang mengorbankan harta dan jiwa mereka di jalan keridhaan Allah Ta’ala. Maka mereka menjadikan jiwa, harta, pakaian, dan rumah mereka sebagai wakaf dalam rangka ketaatan kepada Allah. Oleh karena itu, kita dapati para ulama salaf kita dahulu, mereka adalah orang-orang yang bersemangat dalam mengumpulkan kitab. Mereka tidak segan-segan menjual apa pun yang mereka punya untuk dapat memiliki kitab dan tetap bisa belajar ilmu syar’i. Itulah kebahagiaan mereka, namun sedikit sekali kita yang mau mencontohnya.

Menjual Pakaian demi Menuntut Ilmu Syar’i

Para ulama salaf kita yang mulia telah mencontohkan bagaimana mereka berkorban dengan susah payah di jalan thalabul ‘ilmi, sampai-sampai mereka menjual pakaian mereka. Karena mereka meyakini bahwa pakaian ilmu dan takwa serta iman itu lebih baik daripada pakaian jasad dan badan. Berikut ini sebagian kisah mereka yang menunjukkan semangat mereka dalam mengorbankan harta demi tetap menuntut ilmu agama.

Abu Hatim Ar-Razi rahimahullah berkata,“Aku tinggal di Basrah delapan bulan, pada tahun 214 H, dalam rencanaku, aku ingin tinggal selama setahun (untuk menuntut ilmu). Namun, bekalku habis sehingga aku menjual pakaianku satu demi satu, sampai aku kehabisan bekal sama sekali.” [1]

Imam Baqi’ bin Mukhallad Al-Andalusi rahimahullah berkata pada suatu hari dengan murid-muridnya,“Menuntut ilmukah kalian? Apakah seperti ini menuntut ilmu? [Maksudnya, kalian belum pernah merasakan kesulitan menuntut ilmu dan berkorban di jalannya.] Jika salah seorang di antara kalian tidak ada kesibukan, kalian baru mengatakan,’Aku mau pergi belajar.’ Sungguh aku mengetahui ada seseorang [maksudnya dirinya sendiri] yang melalui hari-hari menuntut ilmu dalam keadaan tidak ada makanan kecuali daun sayuran yang sudah dibuang manusia. Sungguh aku juga mengetahui seseorang [maksudnya dirinya sendiri] yang beberapa kali menjual celananya untuk membeli kertas agar bisa menulis. [Maksudnya, jika perbekalan semakin menipis dan masih tersisa beberapa potong celana, maka dijuallah celana itu agar bisa mendapatkan uang sehingga bisa terus menuntut ilmu.]” [2]

Abu Muhammad Al-Firghani rahimahullah berkata,“Imam Ibnu Jarir Ath-Thabari rahimahullah bepergian tatkala tumbuh dewasa dan umurnya saat itu baru dua belas tahun. Dia sudah diizinkan oleh bapaknya. Selama menuntut ilmu, bapaknya mengirimkan keperluan-keperluannya [yang dapat membantu ketika menuntut ilmu] ke negeri tempat beliau tinggal. Imam Ibnu Jarir berkata,’Uang saku dari bapakku terlambat datang. Aku terpaksa memotong bajuku [kantung baju yang besar atau jubah] dan menjualnya“. [3]

Abu Hatim Ar-Razi rahimahullah berkata,“Aku pergi menuju Mesir. Tatkala aku melihat banyaknya ilmu di sana, aku memiliki keinginan kuat untuk menetap di sana. Aku menyewa seseorang untuk menyalin kitab ‘Imam Syafi’i.’ Selama di Mesir aku juga telah membeli dua buah baju yang akan aku jahit sendiri apabila nanti kembeli ke negeriku. Ketika aku sangat ingin menyalin kitab Imam Syafi’i, aku kehabisan uang. Maka aku menjual dua buah bajuku itu seharga 60 dirham. Kugunakan yang 10 dirham untuk membeli kertas dan sisanya untuk kami berikan kepada orang yang menyalin kitab Imam Syafi’i untukku.“ [4]

Kami yakin bahwa kondisi kita saat ini tidaklah seperti kondisi para ulama di atas. Di antara kita mungkin memiliki kelebihan harta yang sangat berlimpah. Oleh karena itu, renungkanlah -semoga Allah Ta’ala menjaga kita semua- bagaimanakah kesungguhan dan pengorbanan mereka demi meraih ilmu dan terus belajar tanpa terputus. Lalu bandingkanlah dengan “kesungguhan” kita dalam belajar agama.

Mengumpulkan Kitab: Bahan Bakar untuk Mengobarkan Api Semangat Menuntut Ilmu Syar’i

Sudah selayaknya bagi kita agar memiliki perhatian terhadap kitab-kitab para ulama terdahulu. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata, ”Sudah selayaknya bagi penuntut ilmu untuk memperhatikan hal ini, yaitu mengumpulkan kitab. Akan tetapi, hendaklah memulainya dari kitab yang paling penting kemudian yang penting berikutnya. Jika tidak memiliki banyak uang, bukanlah suatu hal yang bijaksana jika membeli kitab yang sangat banyak dengan cara berhutang. Karena hal ini termasuk membelanjakan uang di jalan yang kurang baik. Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah memerintahkan kepada seseorang yang hendak menikah namun tidak punya uang agar dia berhutang. Bersemangatlah untuk memiliki kitab-kitab pokok yang paling penting, bukan kitab yang ditulis oleh orang pada zaman sekarang. Karena sebagian penulis pada zaman sekarang ini tidaklah memiliki ilmu yang mendalam. Oleh karena itu, jika Engkau membaca kitab, Engkau akan menemukan pembahasan yang mengambang. Terkadang penulis hanya menukil saja dari kitab yang lain. Terkadang pula menjelaskannya dengan ungkapan yang panjang lebar, namun kurang ada manfaatnya. Oleh karena itu, perhatikanlah kitab-kitab yang penting. Bersemangatlah untuk mencari kitab-kitab pokok yang ditulis para salaf (ulama terdahulu). Karena sesungguhnya ada lebih banyak kebaikan dan berkah daripada kitab yang ditulis orang-orang khalaf (zaman sekarang ini, pen.).” [5]

Mengumpulkan sebanyak mungkin kitab syar’i yang bermanfaat dan bersemangat untuk mengumpulkannya merupakan sarana yang dapat membantu kita untuk membakar dan mengobarkan api semangat menuntut ilmu syar’i. Hal ini disebabkan:

  1. Jika seseorang mengumpulkan kitab dan menyusunnya dalam perpustakaan rumah atau ruangan khusus di rumahnya, maka ketika dia memandang deretan buku-buku tersebut yang telah dicetak dengan cetakan yang indah dan menarik, pastilah tergerak motivasinya untuk membaca sebagian buku tersebut walaupun sejenak saja. Karena ketika dia memandang kitab-kitab itu, dia akan teringat dengan kesungguhan yang dicurahkan oleh para ulama salaf dalam menulis, menyusun, dan mengumpulkan kitab-kitab tersebut. Dia juga akan teringat dengan berbagai kesulitan yang dihadapi dalam menulisnya. Saat itulah dia akan membandingkan dengan keadaan dirinya sendiri, “Wahai jiwaku, apa yang telah Engkau perbuat? Apa yang telah Engkau persembahkan?”
  1. Ketika dia melihat kitab-kitab yang banyak di perpustakaannya dan belum terbaca, dia akan bertanya pada dirinya,“Sampai kapan aku mengumpulkan kitab dan tidak membacanya?” Kemudian mencela dirinya,“Wahai jiwaku, bukanlah suatu aib dalam mengumpulkan banyak kitab. Bahkan hal itu sesuatu yang sangat terpuji dan memiliki banyak keutamaan. Namun, yang menjadi aib adalah ketika Engkau meninggalkan untuk membacanya. Maka sadarlah dari kelalaianmu dan bangunlah dari tidurmu!”
  1. Terkadang seseorang mengalami kesusahan, kegelisahan, dan kesedihan sehingga mendorong dirinya untuk melakukan apa saja agar bisa melupakannya. Sehingga ketika dia melihat kitab yang tersusun di perpustakaannya, dia akan mengambil kitab yang dapat diraih oleh jangkauan tangannya untuk dibaca. Terkadang, tidaklah dia meninggalkan kitab itu sampai menyelesaikannya.
  1. Menginfakkan harta untuk membeli dan mengumpulkan kitab adalah amal kebaikan. Sehingga orang tersebut diberi pahala di dunia dan dia akan memperoleh manfaat setelah dia meninggal dan berada di dalam kuburnya. Ketika dia mewasiatkan kitab-kitab itu bagi orang yang mau mengambil manfaat darinya atau mewakafkannya kepada lembaga-lembaga keislaman, masjid, atau perpustakaan umum, maka tentu ini adalah kebaikan yang sangat besar. [6]

Semangat para Ulama dalam Mengumpulkan Kitab

Demikianlah, para ulama salaf sangat menyadari pentingnya mengumpulkan kitab. Kita temukan pada diri mereka semangat yang tinggi untuk membeli kitab.

Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah berkata dalam biografi Ibnul Qayyim rahimahullah, “Beliau (Ibnul Qayyim) sangat gemar mengumpulkan kitab sehingga beliau memiliki kitab yang tidak terhingga banyaknya. Sampai-sampai anaknya menjual kitab-kitab itu setelah beliau meninggal dalam kurun waktu yang lama, kecuali kitab-kitab yang mereka pilih untuk diri mereka sendiri.” [7]

Imam Al-Mundziri rahimahullah berkata, “Al-Hafidz As-Silafi rahimahullahu adalah orang yang sangat gemar mengumpulkan kitab. Setiap kali memiliki uang, beliau akan menggunakannya untuk membeli kitab. Beliau memiliki koleksi kitab yang tidak ada habis-habisnya apabila dipandang.” [8]

Adz-Dzahabi rahimahullah berkata dalam biografi Al-Qadhi Abdurrahim bin Ali Al-Lukhai rahimahullah,”Telah sampai berita kepada kami bahwa beliau memiliki kitab sampai 100.000 jilid. Beliau mengumpulkannya dari seluruh pelosok negeri.” [9]

Adz-Dzahabi rahimahullah berkata dalam biografi Muhammad bin Abdullah As-Sulami Al-Marsi rahimahullah,”Menulis, membaca, dan mengumpulkan banyak kitab yang berharga. Harta beliau digunakan untuk membeli kitab.” [10]

Inilah beberapa contoh keteladanan para ulama salaf kita dalam mengumpulkan kitab atau buku-buku agama yang bermanfaat. Semoga dapat memberikan teladan bagi kita tentang bagaimanakah semangat para ulama salaf dalam membelanjakan harta demi menuntut ilmu syar’i. Marilah kita berlomba-lomba mencari kebahagiaan menuntut ilmu syar’i dengan menelaah kitab para ulama dalam bahasa aslinya, yaitu bahasa Arab.

Baca juga: Beginilah Cara Mempelajari Kitab Para Ulama

Catatan kaki:

[1] Jarh wa Ta’dil, hal 363. Dikutip dari Kaifa Tatahammasu li Tholabil ‘Ilmi Syar’i, hal. 47.

[2] Mu’jam Al-Udabaa’, 7/83. Dikutip dari Kaifa Tatahammasu li Tholabil ‘Ilmi Syar’i, hal. 47-48.

[3] Tadzkiroh Al-Hafizh, 3/711. Dikutip dari Kaifa Tatahammasu li Tholabil ‘Ilmi Syar’i, hal. 48.

[4] Diringkas dari Jarh wa Ta’dil. Dikutip dari Kaifa Tatahammasu li Tholabil ‘Ilmi Syar’i, hal. 49.


Ditulis oleh ustaz M. Saifudin Hakim hafizhahullah

Diterbitkan ulang dari website muslim.or.id

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *