mempelajari kitab para ulama

Beginilah Cara Mempelajari Kitab Para Ulama

Renungan

Sebagian orang ada yang berusaha menjatuhkan kehormatan ulama dengan mencela dan merendahkan mereka, bahkan ada pula golongan yang menyamakan diri mereka dengan ulama, sehingga dengan ringan hati mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang “megah” dalam urusan agama untuk membantah fatwa-fatwa ulama Ahlus Sunnah dan merendahkannya, padahal pernyataan-pernyataan tersebut lebih rapuh dari sarang laba-laba. Sampaikan kepada mereka “ulama itu kedudukan ilmiyah yang sangat tinggi, tidak mudah menjadi ulama. Sungguh jauh berbeda antara Anda dengan mereka, bercerminlah”.

Di sisi lain, sebagian dari penuntut Ilmu yang telah mendapatkan hidayah sunnah dan memiliki semangat mempelajari kitab para ulama pun ada yang merasakan hal seperti ini,

Tahunan sudah saya mengikuti kajian dari daurah ke daurah dan banyak sudah kitab-kitab ulama yang telah saya baca, namun saya merasa seolah-olah ‘tidak punya apa-apa’, tidak menguasai kaidah-kaidah dasar yang kokoh, tidak bisa menganalisa sebuah masalah ilmiyah dengan baik, dan tidak mampu memahami apalagi membahas masalah-masalah yang pelik!”. Suatu pertanyaan yang layak dijadikan renungan: “Sudah benarkah cara belajarnya?

Menuntut ilmu syar’i Adalah Jalan yang Panjang

Syaikh Shalih Alu Asy Syaikh hafizhahullah mengatakan, “Menuntut Ilmu syar’i adalah jalan yang panjang, tidaklah terwujud dengan baik kecuali dengan meninggalkan perkara yang sia-sia lagi melalaikan, serta meninggalkan mengikuti kesenangan syahwat belaka. Di samping itu, juga harus melakukannya dengan bersungguh-sunguh ”. Mengapa demikian? Karena Allah Yang Maha Mengetahui tentang wahyu-Nya telah mensifati wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan Ucapan yang berat,

إِنَّا سَنُلْقِي عَلَيْكَ قَوْلًا ثَقِيلًا

“Sesungguhnya Kami akan menurunkan kapadamu perkataan yang berat” (QS. Al-Muzzammil: 5).

Hal yang dimaksud dengan Ucapan yang berat di sini adalah Al-Qur`an dan As-Sunnah.

Oleh sebab itu, ketika Imam Malik rahimahullah ditanya tentang suatu masalah, beliau tidak menjawabnya, lalu ada yang berkata, “Ini masalah yang enteng atau masalah yang sepele”, sang Imam pun menjawab, Jangan Anda katakan seperti itu! Karena (sesungguhnya) tidak ada satupun dari ilmu syar’i ini, -baik permasalahan kecil maupun yang besar- layak dikatakan sepele atau enteng, karena Allah Jalla wa ‘alaa mensifatinya dengan (perkataan yang) berat {إِنَّا سَنُلْقِي عَلَيْكَ قَوْلًا ثَقِيلًا}”.

Ucapan Imam Malik rahimahullah adalah ucapan yang mendalam dan sarat makna.

Hal ini adalah tingkatan pertama dari tangga menuntut ilmu bahwa seorang penuntut ilmu tidak boleh menyepelekan dan menggampangkan ilmu, walaupun seandainya masalah yang dibahas benar-benar perkara yang mudah dipahami. Bukan berarti tidak ada sebagian dari ilmu syar’i yang lebih mudah dipahami daripada sebagian yang lainnya. Namun maksudnya, walaupun suatu materi ilmu itu mudah, tetap tidak layak untuk disepelekan. Mengapa?

Seorang penutut ilmu syar’i, tidaklah dikatakan menguasai ilmu syar’i dengan baik dan tidaklah dikatakan memiliki ilmu yang mapan kecuali dengan memberikan perhatian yang besar terhadap semua masalah ilmiyah, baik yang kecil maupun yang besar, baik terkait dengan aktifitas memahami dan memperolehnya, menghafal maupun mengulang-ulangnya, mendalamkan dan mengokohkannya dalam hati serta mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Semua itu adalah perkara yang berat. Ada sebuah kata Mutiara yang terbukti dalam kenyataan dan menarik untuk kita simak,

العلم إنْ أعطيته كلّك أعطاك بعضه، وإنْ أعطيته بعضك لم تدرك منه شيئا

Ciri khas ilmu syar’i itu, seandainya Anda telah memberikan pengorbanan semua yang Anda miliki, maka ilmu tersebut hanyalah akan memberikan kepadamu sebagiannya saja, namun jika Anda memberikan pengorbanan sebagian saja untuk memperolehnya, maka Anda tidak akan mendapatkan apa-apa darinya” .

Seorang Penuntut Ilmu Haruslah Memiliki Metodologi dalam Belajar

Ya, metodologi (manhaj) yang benar dalam menuntut ilmu syar’i dan membaca kitab-kitab ulama haruslah dimiliki oleh setiap penuntut ilmu syar’i karena jika ia sampai tidak memilikinya, maka bisa luntur semangatnya, bosan dan bahkan ia bisa berhenti di tengah jalan.

Telah berlalu sekian tahun lamanya ia belajar ilmu-ilmu syari’at ini, namun ia dapati dirinya seolah-olah masih seperti yang dulu, awam atau berstatusbanyak baca kitab” saja, walaupun hanya pendahuluan, daftar isi, dan beberapa bab secara sekilas.

Akhirnya, pengetahuannya setengah-setengah, tidak menguasai kaidah-kaidah dasarnya, tidak paham inti masalahnya, lebih tidak paham lagi masalah perinciannya dan perkara-perkara yang sulit karena yang ia dapatkan selama ini tidak lebih dari sekedar wawasan dan bukan ilmu yang kokoh dan mapan.

Tiga Kunci Mendasar Sukses Menuntut Ilmu Syar’i

Ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah, dari dulu sampai sekarang memiliki tiga kiat sukses mendasar dalam menguasai ilmu syar’i, sehingga mereka berhasil menjadi para ulama, Aimmatul Huda (para Imam yang mengajarkan petunjuk Allah), dengan taufik dari Allah Ta’ala.

Ketiga prinsip ini termasuk penyebab terbesar didapatkannya taufik dan pertolongan Allah, sehingga mereka mendapatkan anugerah menjadi para ulama rabbaniyin.

1. Ikhlas

Seorang penuntut ilmu syar’i  haruslah ikhlas dalam menuntut ilmu, mencari keridhaan dan kecintaan Allah, sehingga Dia berkenan memasukkannya ke dalam surga-Nya. Menuntut ilmu syar’i adalah ibadah yang agung, tidaklah akan diterima dan diberkahi oleh Allah kecuali dengan keikhlasan, bukan bertujuan untuk mendapatkan perhiasan dunia berupa harta, tahta, wanita, pujian maupun yang lainnya.

Seorang penuntut ilmu syar’i tidaklah belajar dengan niat mengincar profesi guru, penceramah, maupun ustadz terkenal, namun ia belajar agama Islam ini semata-mata dalam rangka beribadah kepada Rabbnya semata, agar bisa beribadah dan beragama dengan benar (baca: berilmu dan beramal), dan ingin agar orang lain bisa beribadah dan beragama dengan benar pula (baca: berdakwah). Bukan profesi, gaji, dan popularitas yang menjadi tujuannya, namun ilmu, amal dan dakwah yang ia inginkan, inilah profil penuntut ilmu yang ikhlas, mencari keridhaan dan kecintaan Allah, serta mencari surga-Nya.

Hal inilah yang dimaksud oleh Imam Ahmad rahimahullah dalam perkataannya,

العـلم لا يـعـدله شـيء لمن صحّـت نيـتـه ،قيل: وكيف تصح نيته؟  قال: ينـوي أن يرفع الجهل عن نفسه وعن غيره

“Ilmu (syari’at) itu tidak ada sesuatu yang bisa menyaingi keutamaannya, bagi orang yang benar niatnya. Ada yang bertanya, “Bagaimana niatnya bisa benar?” Beliau menjawab, “Hendaklah ia berniat menghilangkan kebodohan (tentang agama Islam ini) dari dirinya dan dari orang lain”.

Maksud beliau niat yang benar dalam menuntut ilmu syar’i adalah berilmu agar bisa beramal dan beribadah dengan benar serta untuk berdakwah kepada orang lain agar mereka pun bisa beribadah dengan benar. Intinya adalah berilmu, beramal, dan berdakwah.

2. Cara menuntut Ilmu Syar’i yang Sesuai dengan Sunnah Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam

Niat yang benar (baca : Ikhlas) semata tidaklah cukup, haruslah ditambah dengan cara yang benar dalam beribadah kepada Allah Ta’ala, barulah ketika terkumpul kedua perkara ini, maka aktifitas ibadah diterima oleh Allah. Di antara cara yang paling penting dalam menuntut ilmu syar’i adalah Ar-Rifqu (lembut, tidak terburu-buru, tapi bertahap).

Mengapa demikian? Karena Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam menerangkan kepada kita kabar yang umum,

إن الرفق لا يكون في شيء إلا زانه، ولا ينزع من شيء إلا شانه

“Sesungguhnya tidaklah kelembutan ada pada sesuatu kecuali akan menghiasinya, dan tidaklah dicabut (hilang) dari sesuatu kecuali akan membuatnya jelek” (HR. Muslim no. 2594).

Maksud dari sesuatudisini umum, termasuk juga didalamnya adalah aktifitas menuntut ilmu syar’i.

Demikian pula dengan sabda Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam,

إن الله رفيق يحب الرفق في الأمر كله

“Sesungguhnya Allah Maha Lembut, mencintai kelembutan dalam seluruh perkara” (HR. Bukhari dan Muslim). Sabda beliau (في الأمر كله) mencakup seluruh perkara, termasuk didalamnya menuntut ilmu syar’i.

3. Ar-Rifqu dalam menuntut Ilmu Syar’i

Bagaimana bentuknya? Ulama menjelaskan tentang Ar-Rifqu, maknanya adalah berhati-hati, teliti, tidak terburu-buru, dan bertahap dalam setiap urusan, lawannya adalah mengambil sesuatu (langkah/keputusan/aktifitas) dengan kasar dan terburu-buru.

Dalam menuntut ilmu syar’i, bentuk Ar-Rifqu adalah menuntut ilmu syar’i secara bertahap, tidak sekaligus dan tidak langsung belajar secara luas, mendetail, dan mendalam, namun ia mempelajari dasar-dasar berbagai disiplin ilmu yang ringkas terlebih dahulu lalu meningkat ke ilmu lanjutan yang menengah, dan selanjutnya meningkat ke tingkatan yang lebih tinggi, demikian seterusnya sesuai dengan apa yang dimudahkan oleh Allah baginya. Hal ini sebagaimana yang disebutkan oleh seorang imam Tabi’in yang terkenal, Syihab Az-Zuhri,

من رام العلم جملة ذهب عنه جملة وإنّما العلم يطلب على مرّ الأيام واللّيالي

“Barangsiapa yang mencari ilmu sekaligus (semuanya atau mayoritasnya), maka akan lenyaplah ilmu tersebut sekaligus pula. Sesungguhnya ilmu syar’i hanya bisa dipelajari dengan baik jika menghabiskan waktu siang dan malam (dalam waktu yang panjang).”

Menguasai ilmu syar’i dengan baik, mendalam, luas, detail, dan kokoh itu membutuhkan waktu yang panjang, harus bertahap selama bertahun-tahun, tidak bisa hanya dalam waktu yang singkat. Barangsiapa yang coba-coba mempelajarinya langsung mendalam, luas, dan detail dalam waktu singkat, biasanya ia tidak akan bisa menguasainya dengan baik sehingga seolah-olah ia seperti tidak pernah belajar sama sekali atau bahkan benar-benar tidak tahu apa-apa tentang ilmu tersebut.

Contohnya:

Seorang penuntut ilmu syar’i pemula yang memiliki semangat mempelajari ilmu tafsir -di awal tangga menuntut ilmu- menginginkan langsung menguasai pembahasan tafsir yang luas, yang disebutkan di dalamnya banyak perbedaan pendapat para ahli tafsir, detail, dan lengkap dengan sanadnya serta alasan-alasan ilmiyahnya, padahal ia tidak pernah mempelajari tafsir yang ringkas sebelumnya, yang mengajarkan dasar-dasar ilmu tafsir dan tidak pernah pula mempelajari kaidah-kaidah usul tafsir, kaidah tafsir, kaidah tarjih (menguatkan pendapat), tata bahasa Arab maupun ilmu lainnya yang dibutuhkan untuk memahami pembahasan tafsir yang detail dan mendalam.

Misalnya saja, penuntut ilmu pemula tersebut langsung mempelajari kitab tafsir Ibnu Jarir Ath-Thabari yang tergolong memuat mayoritas ilmu tafsir, sebuah kitab yang terdiri dari belasan jilid yang tebal. Jika Anda bertanya kepadanya tentang tafsir Ayat tertentu, maka biasanya ia tidak bisa menjelaskannya dengan baik, hanya ingat saja bahwa dirinya pernah baca tafsir Ayat tersebut, tidak lebih dari itu.

Begitu juga ketika ia ingin mempelajari ilmu hadits, ia langsung belajar kitab Syarah Shahihul Bukhari dan Fathul Baari.  Orang seperti ini tidak akan bisa menguasai ilmu tersebut sebagaimana yang dimiliki ulama atau penuntut ilmu syar’i yang mapan ilmunya. Ia hanyalah berstatus orang yang “berwawasan luas” (berwawasan luas dalam tanda petik) alias “pernah banyak tahu atau dengar” saja, namun banyak lupa dan banyak tidak memahami masalah-masalah atau bab-bab dalam disiplin ilmu syar’i tersebut.

Di antara penuntut ilmu syar’i pemula, terkadang ada yang suka menghadiri majelis-majelis atau membaca kitab-kitab yang mengajarkan ilmu-ilmu tafshiilaat (perincian secara detail) tentang suatu masalah atau bab tertentu, selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun. Ia menyangka dengan itu dirinya akan mendapatkan ilmu yang mendalam sebagaimana ulama, padahal ia belum pernah mempelajari ilmu-ilmu pengantar, ilmu-ilmu dasar dan kaidah-kaidah umum yang dibutuhkan untuk menguasai masalah tersebut dengan kokoh.

Orang yang seperti ini biasanya akan banyak lupa perincian ilmu yang telah ia pelajari selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun itu karena ia tidak menguasai ilmu pengantar dan kaidah-kaidah dasar atau alat yang mengikat perincian yang sangat detail itu, sehingga ia mudah lupa atau sulit memahaminya. Ketahuilah, bukan demikian metode menuntut ilmu syar’i yang benar. Allah memerintahkan hamba-hamba-Nya menjadi rabbaniyyin,

وَلَٰكِنْ كُونُوا رَبَّانِيِّينَ بِمَا كُنْتُمْ تُعَلِّمُونَ الْكِتَابَ وَبِمَا كُنْتُمْ تَدْرُسُونَ

“Akan tetapi (dia berkata), “Hendaklah kalian menjadi orang-orang rabbani, karena kalian selalu mengajarkan Al-Kitab dan disebabkan kalian tetap mempelajarinya” (QS. Ali ‘Imran: 79).

Imam Al-Bukhari rahimahullah menafsirkan rabbaniyin dalam kitab shahihnya,

الرباني هو الذي يربي الناس بصغار العلم قبل كباره

“Rabbani adalah orang yang mendidik manusia dengan ilmu yang dasar dan ringkas sebelum ilmu yang tinggi dan panjang lebar pembahasannya.” Inilah metode yang benar dalam belajar maupun mengajarkan ilmu syar’i. Seorang guru yang rabbani tidaklah menyampaikan semua yang ia ketahui kepada muridnya, ia menyampaikan apa yang dibutuhkan muridnya sesuai dengan tingkatan ilmunya dan pemahamannya. Demikian pula seorang murid yang ingin menjadi seorang da’i, syaikh, ulama rabbaniyyin atau sebatas menjadi pendidik bagi diri dan keluarganya dengan benar, maka ia mendidik dirinya dengan ar-rifqu (kelembutan) dalam menuntut ilmu syar’i, tidak membebani dirinya dengan beban-beban menuntut ilmu yang berat sebelum yang dasar, ringkas, dan mudah.

Hendaklah Penuntut Ilmu Syar’i Memberikan Waktu Paling Baik dan Mahal untuk Meraihnya

Seorang penuntut ilmu syar’i yang ingin menjadi generasi penerus ulama ahlus sunnah wal jama’ah janganlah memberikan “waktu-waktu sisa” dalam ibadah thalabul ‘ilmi. Janganlah ia berikan waktu sisa-sisa bekerja setelah tenaga banyak terkuras untuk kerja. Janganlah ia berikan waktu sisa-sisa sibuk (waktu senggang), ketika pikiran sudah penat. Begitu pula, waktu sisa-sisa umur, ketika sudah hilang umur-umur emas mampu menghafal dengan kuat (sudah tua).

Bukan berarti ada kata terlambat untuk jadi ulama bagi yang sudah berusia tua. Namun maksudnya kita bicara sesuatu yang ideal untuk menjadi ulama. Untuk menguasai ilmu syar’i dengan baik, berikanlah waktu paling mahal Anda, ketika pikiran masih segar, hafalan masih kuat, usia masih muda, tidak sedang disibukkan dengan urusan lain, itupun, sebagaimana kata mutiara mengatakan,

العلم إنْ أعطيته كلّك أعطاك بعضه، وإنْ أعطيته بعضك لم تدرك منه شيئا

“Ciri khas ilmu syar’i itu, seandainya Anda telah memberikan pengorbanan semua yang Anda miliki, maka Ilmu tersebut hanyalah akan memberikan kepadamu sebagiannya saja”

Ketahuilah, memberikan waktu yang paling baik dan paling mahal untuk meraih ilmu syar’i dan menguasainya bisa terwujud dengan dua perkara berikut ini:

  1. Pembagian Waktu yang Tepat
    Bagilah waktu sesuai dengan ilmu yang Anda pelajari. Waktu-waktu yang “emas” pakailah untuk mempelajari ilmu-ilmu yang membutuhkan kosentrasi dan pemikiran yang berat, semisal fikih, ushul fikih, dan yang semisalnya. Waktu-waktu “perak” gunakanlah untuk mempelajari ilmu-ilmu yang kurang membutuhkan kosentrasi dan pemikiran yang berat, semisal tafsir, hadits dan mushthalahnya. Waktu-waktu “perunggu”, yaitu waktu disaat Anda sudah penat, capek dan lelah berpikir, namun masih mampu untuk terus belajar, maka manfa’atkan waktu-waktu tersebut untuk membaca kitab-kitab tentang Adab, biografi ulama, dan yang semisalnya.
  1. Hiduplah Bersama dengan Ilmu dan Amal, dimanapun Anda Berada
    Jadikanlah hatimu senantiasa tertuju kepada ilmu dan amal serta jadilah sosok insan yang haus ilmu dan pengamalannya, kapanpun dan dimanapun Anda berada. Pagi, siang, dan malam bersama dengan ilmu dan amal, bangun tidur sibuk dengan membuka lembaran-lembaran kitab ulama, hendak tidurpun menyanding kitab-kitab ulama agar suatu saat Anda membutuhkan pembahasan masalah ilmiyyah tertentu, Anda pun membacanya lalu segera menulisnya agar tidak hilang dari ingatannya.

Jadi intinya, jika Anda ingin menjadi ulama, maka tempuhlah jalan yang telah mereka tempuh, sebagaimana sebuah sya’ir,

ترجو النجاة ولم تسلك مسالكها … إن السفينة لا تجري على اليبس

“Anda mengharapkan kesuksesan, namun Anda tidak menempuh jalan-jalan yang semestinya. Sesungguhnya kapal laut itu tidaklah berjalan di atas daratan”

Maka bagaimana mungkin kapal laut lewat darat akan sampai tujuannya? Begitu pula, mungkinkah seorang penuntut ilmu syar’i menjadi ulama, jika menempuh suatu cara yang bukan caranya ulama?

Oleh sebab itu, jadilah sosok orang yang senantiasa bersama ilmu sebagaimana ulama. Bagi ulama, tidak ada satu saatpun paling indah dan manis dalam hidupnya kecuali bersama dengan ilmu yang diamalkan. Baginya, tidak ada satupun piknik, tamasya, dan jalan-jalan yang sanggup menggantikan kelezatan menuntut ilmu syar’i, mengamalkan, dan mendakwahkannya.

Oleh karena itu, aib bagi seorang yang mengaku sebagai penuntut ilmu syar’i, namun ia terbiasa menghabiskan waktunya berjam-jam untuk aktifitas yang tidak ada hubungannya dengan ilmu, hanya sekedar majelis qila wa qala (obrolan gak jelas), baik dalam bentuk ngobrol ngalor-ngidul, pesbuk-an, ngetweet, atau cuci mata dan nongkrong. Orang yang seperti ini tidaklah pantas disebut sebagai thalibul ‘ilmi, apalagi disebut sebagai pakar ilmu syari’at. Ia lebih pas dikatakan “pakar/tukang ini atau itu” sesuai dengan majelis qila wa qala yang ditekuninya.

Empat Kaidah Umum dalam Mempelajari Kitab Ulama

Ilmu syari’at ditinjau dari sisi kedudukannya terbagi menjadi dua, yaitu ilmu maqsudun li dzatihi (ilmu tujuan) dan ilmu maqsudun li ghairihi (ilmu sarana).

Tentu, sebagai penuntut ilmu syar’i perlu mengetahui bagaimana cara istifadah (mengambil manfaat) dari kitab Ulama tersebut agar mendapatkan hasil sebagaimana para Ulama rahimahumullah mendapatkannya. Sebagaimana sebuah sya’ir mengatakan,

ترجو النجاة ولم تسلك مسالكها … إن السفينة لا تجري على اليبس

“Anda mengharapkan kesuksesan, namun Anda tidak menempuh jalan-jalan yang semestinya. Sesungguhnya kapal laut itu tidaklah berjalan di atas daratan!

Bagaimana mungkin kapal laut lewat darat akan sampai tujuannya?

Berikut ini empat kaidah umum cara mempelajari kitab-kitab Ulama. Kaidah ini dikatakan “Kaedah Umum” karena memang bisa diterapkan pada seluruh macam kitab Ulama dari berbagai disiplin ilmu syar’i.

Kaidah Pertama

Kitab-kitab Ulama ditinjau dari ringkas tidaknya, terbagi menjadi tiga mukhtashoroh (ringkas), mutawassithoh (sedang) dan muthowwalah (panjang lebar), maka untuk ta`siis dan ta`shiil (pendasaran yang kokoh), mulailah dari mukhtashoroh lalu mutawassithoh kemudian muthowwalah agar keilmuan Anda sebagai penuntut ilmu terkurikulum secara sistematis, rapi dan kokoh.

Penjelasan

Kitab-kitab yang mukhtashoroh (ringkas) adalah kitab-kitab matan yang uraiannya singkat dan memberikan pelajaran dasar dalam suatu disiplin ilmu syari’at. Di masa sekarang, kitab-kitab mukhtashoroh ini kedudukannya seperti kurikulum untuk SD.

Faedah mempelajari kitab-kitab mukhtashoroh adalah mengokohkan materi dan kaidah dasar dalam suatu disiplin ilmu syari’at agar mantap naik ke tingkatan ilmu yang sesudahnya.

Kitab-kitab yang mutawassithoh (sedang) adalah kitab-kitab lanjutan dari kitab-kitab mukhtashoroh, namun tidak sampai kitab-kitab yang muthowwalah (panjang), berisikan uraian pendasaran lebih lanjut tentang pelajaran yang belum atau sudah dijelaskan dalam kitab-kitab yang mukhtashoroh (ringkas), namun lebih detail. Di masa sekarang, kitab-kitab mutawassithoh ini kedudukannya seperti kurikulum untuk sekolah lanjutan, baik di tingkat pertama (SLTP) maupun atas (SLTA).

Faidah mempelajari kitab-kitab mutawassithoh adalah kelanjutan materi dasar di kitab- kitab mukhtashoroh sekaligus pengantar untuk naik ke tingkatan materi tinggi di Kitab-kitab yang muthowwalah (panjang lebar).

Kitab-kitab yang muthowwalah (panjang lebar) adalah kitab-kitab syarah (penjelasan) yang luas tentang perkara yang samar atau yang kurang detail perinciannya di dalam matan yang mukhtashoroh maupun kitab-kitab yang mutawassithoh. Serta menjelaskan masalah-masalah cabang yang rinci sebagai penjabaran dari materi sebelumnya yang sudah disebutkan di dalam kitab-kitab matan yang mukhtashoroh dan kitab-kitab mutawassithoh.

Di masa sekarang, kitab-kitab muthowwalah ini kedudukannya seperti kurikulum untuk tingkat perguruan tinggi.

Faidah mempelajari kitab-kitab muthowwalah:

  1. Pendalaman dan perluasan materi atau kaidah dasar,
  2. Penguasaan masalah-masalah cabangnya,
  3. Penjelasan perkara-perkara yang samar atau sulit

dipahami di kitab-kitab tingkatan sebelumnya.

Kesimpulan:

  1. Tidak patut bagi penuntut ilmu syar’i pemula meninggalkan menguasai kitab-kitab mukhtashoroh dan  langsung mempelajari kitab-kitab muthowwalah, seperti Fathul Baari, Al-Mughni, Al-Majmu’ syarhul Muhadzdzab dan Al Muhalla, ia akan kehilangan materi dan kaidah dasar sebagai pondasi terbangunnya materi-materi tingkatan selanjutnya. Ibaratnya ia belum menguasai materi SD dengan baik, sudah mencoba mempelajari materi perguruan tinggi bahkan tingkat pasca sarjana.

    Kalaupun ia nekat langsung mempelajarinya dan meninggalkan menguasai kitab-kitab mukhtashoroh, maka ia terancam tidak bisa menguasai isi kitab-kitab muthowwalah dengan baik.
    Mungkin saja di dalam hatinya terdapat banyak maklumat, wawasan, dan masalah-masalah ilmiyyah yang pernah dibacanya dari kitab-kitab yang muthowwalah, namun semua pengetahuan-pengetahuan tersebut biasanya semrawut, tidak sistematis dan tidak bisa ia pahami dengan baik, karena ia tidak memiliki ilmu dan kaidah dasar untuk mengikat, menata, mengelompokkan dengan rapi serta memahami hakikatnya dengan baik. Jika ia dituntut untuk menjelaskan pengetahuan-pengetahuan yang pernah dibacanya di  kitab-kitab muthowwalah tersebut, maka ia tidak mampu menjelaskannya dengan baik dan jelas.
  1. Perlu dibedakan antara ta`siis/ta`shiil (pendasaran yang kokoh) dengan iththilaa’ (sekedar membaca untuk perluasan wawasan ketika dibutuhkan saja). Untuk masalah ta`siis/ta`shiil  (pendasaran yang kokoh), maka haruslah seorang penuntut ilmu mengambil terlebih dahulu mukhtashoroh, kemudian mutawassithoh dan terakhir muthowwalah, agar keilmuan seorang penuntut ilmu terkurikulum secara sistematis, rapi, dan kokoh.

    Namun jika iththilaa’ (membaca/memperluas wawasan) saat ada keperluan, misalnya ketika ia muroja’ah sebuah permasalahan ilmiyyah tertentu, maka ia bisa memilih merujuk kepada kitab-kitab Ulama bacaan sesuai dengan kemampuannya dan kebutuhannya untuk memperluas wawasannya. Namun aktifitas ini dilakukan seperlunya dan jangan sampai mengganggu aktifitas belajar yang ta`shili/ta`sisi tersebut.

Contoh Penerapan Kaidah Ini

Ibnu Qudamah rahimahullah telah memberikan contoh dalam menerapkan kaidah ini, beliau yang merupakan salah satu Ulama besar dalam madzhab Hanbaliyyah telah menyusun kitab Fikih dalam madzhabnya menjadi beberapa tahap,

  1. Al-‘Umdah fil Fiqh, ini matan dasar yang ringkas.
  2. Al-Muqni`, ini isinya lebih panjang.
  3. Al-Kaafi, ini lebih panjang dari Al-Muqni’ dan sebagai persiapan untuk naik ke tingkat muthowwalah.

Syaikh Sholeh Alusy-Syaikh hafizhahullah mengatakan, bahwa beliau mendengar Syaikh Abdur Razzaq ‘Afifi rahimahullah ta’ala berkata, “Sesungguhnya Al-Muwaffaq Ibnu Qudamah rahimahullah telah mendahului lembaga pendidikan modern zaman ini, beliau menjadikan Al-‘Umdah fil Fiqh untuk kurikulum SD, Al-Muqni` untuk SLTP, Al-Kaafi untuk SLTA, dan Al-Mughni untuk Perguruan tinggi”.

Kaidah Kedua

Memperhatikan madzhab dan latar belakang ilmiyyah seorang Imam, Ulama atau penulis kitab-kitab yang ia pelajari.

Hendaknya seorang penuntut ilmu syar’i memperhatikan dengan baik madzhab (metodologi ilmiyah) Imam, Ulama, atau penulis kitab-kitab yang ia pelajari, karena Ulama menulis kitab itu sesuai dengan madzhab yang mereka pegangi, walaupun tujuan Ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah secara umum dalam menulis kitab adalah menjelaskan kebenaran berdasarkan Al-Qur`an dan As-Sunnah dengan manhaj Salaf, namun tidak bisa terlepas dengan metodologi ilmiyyah mereka dalam menganalisa permasalahan ilmiyyah.

Contoh Madzhab dan Latar Belakang Ilmiyyah Ulama

Di antara Ulama ada yang bermadzhab Hanabilah (madzhab ini dinisbatkan kepada Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah), ada yang bermadzhab Syafi’iyyah (madzhab ini dinisbatkan kepada Imam Syafi’i rahimahullah), ada juga yang bermadzhab Hanafiyyah (madzhab ini dinisbatkan kepada Imam Hanafi rahimahullah) dan diantara mereka ada yang bermadzhab Malikiyyah (madzhab ini dinisbatkan kepada Imam Malik rahimahullah). (Catatan: bermadzhab yang benar adalah ketika sebuah pendapat madzhab bertentangan dengan dalil, maka pendapat itu tertolak dan dalil lah yang menjadi pegangan, karena kegunaan madzhab adalah untuk memahami dalil dan bukan untuk menandinginya)

Di antara Ulama ada yang perbekalan sunnah mereka sangat banyak, sehingga sedikit kesalahan mereka dalam masalah sunnah. Namun ada juga di antara Ulama -disebabkan ilmu tentang sunnahnya yang sedikit- memasukkan bid’ah di sebagian kitab-kitab mereka. Ini hal yang mungkin saja terjadi, karena mereka adalah manusia biasa, yang tidak ma’shum (terjaga) dari kesalahan.

Kaidah kedua ini sangat penting untuk diperhatikan sebelum seorang penuntut ilmu syar’i menekuni kitab-kitab Ulama, karena terkadang ia terpengaruh banyak oleh kitab-kitab yang ia baca, sedangkan ia tidak mengetahui apa madzhab dan latar belakang ilmiyyah penulis.

Misalnya, seorang Tholibul ‘Ilmi selalu lebih menguatkan pendapat-pendapat Ulama penulis kitab-kitab syarah hadits dibandingkan dengan kitab-kitab fikih yang muthowwalah, karena ia memandang bahwa para ulama pensyarah Hadits (Muhadditsin) lebih terbebas dari taqlid madzhab dan lebih mumpuni dalam berijtihad daripada Ulama yang menulis kitab-kitab Fikih (Fuqoha`),

sehingga ia menyimpulkan bahwa metode tarjiih (menguatkan pendapat) Muhadditsin lebih bisa dipercaya daripada metode tarjih Fuqoha`.

Kesimpulan ini tidak selalu benar, bahkan sebenarnya para Ulama pensyarah Hadits tersebut mendasari tarjiihat Fikihnya dengan madzhab mereka, contohnya Imam Nawawi rahimahullah dalam kitab Syarah Muslim, ketika melakukan tarjih, maka beliau menguatkan pendapat yang dikuatkan oleh Ulama Syafi’iyyah, karena memang beliau adalah salah satu Ulama besar dalam madzhab Syafi’iyyah, maka jika beliau sudah mulai berdalil dan menerapkan kaedah Ushul Fikih, maka beliau menggunakan Ushul Fikih Syafi’iyyah.

Jadi, dalam mempelajari kitab-kitab syarah Hadits, permasalahannya bukanlah sekedar asal derajat haditsnya sahih, ini suatu hal yang bagus, namun bukan segalanya, kesahihan hadits tidak cukup dalam menghasilkan sebuah kesimpulan fikih. Yang tidak kalah penting adalah wajhu istidlal (alasan pendalilan) atau Istinbath (mengeluarkan suatu hukum syar’i dari dalilnya). Nah, wajhu istidlal atau Istinbath ini kembalinya kepada ilmu ushul fikih, sedangkan ilmu ushul fikih bermadzhab-madzhab pula.

Jangankan ilmu ushul fikih, dalam urusan meshahihkan atau mendha’ifkan hadits -yang kembalinya ke ilmu mustholahul hadits dan ilmu rijal (keadaan perawi hadits)-  itupun mengenal madzhab-madzhab. Misalnya, dalam masalah menghukumi sanad  ‘Amr bin Syu’aib ketika meriwayatkan Hadits dari bapaknya dari kakeknya, atau sanad yang semisalnya, terkadang ada perselisihan pendapat diantara Ulama Ahli Hadits.

Jadi tidak jarang ditemui perbedaan pendapat diantara Ulama Ahli Hadits rahimahumullah dalam menghukumi perawi hadits, terkait apakah perowi tersebut tsiqoh (dipercaya) atau tidak, shoduq atau tidak, diterima riwayatnya dalam masalah ini atau tidak, dan diterima riwayatnya jika meriwayatkan dari fulan tertentu atau tidak?.

Jadi tidak cukup bagi seorang penuntut ilmu syar’i mengatakan, “Masalah ini dalilnya adalah hadits itu, yang dishahihkan Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullahi dalam Fathul Baari atau dalam Buluughul Maraam!”, ini tidak cukup! Jika ia ingin memilih pendapat ulama yang rojih (terkuat), maka ia perlu memahami bagaimana wajhu istidlal atau Istinbath Ulama tersebut.

Karena bukan hal yang aneh jika seorang Ulama ahli hadits ataupun Ulama ahli fikih yang sudah membawakan dalil berupa hadits yang shahih, ternyata ketika menyimpulkan suatu hukum dari hadits itu, ternyata kesimpulan hukum tersebut marjuh (lemah), karena memang wajhu istidlal atau Istinbath Ulama tersebut lemah.

Sangkaan yang salah

Anggapan bahwa inti permasalahan perselisihan pendapat diantara Ulama adalah hanya terbatas pada Ulama fulan tidak memiliki dalil sama sekali dalam masalah ini!” atau “Ulama fulan dalam masalah ini pendapatnya salah mutlak atau lemah mutlak, tidak ada satu sisi tinjauan ilmiyyah pun yang menguatkan pendapatnya”.

“Pendapat kami benar dan kuat secara mutlak dalam masalah ini! atau “Selain kami tidak memiliki dalil sedikitpun dalam masalah ini!”.

Anggapan di atas salah. Kasus perselisihan Ulama bukanlah sebatas itu saja. Bahkan, dalam masalah ikhtilaf (perselisihan Ulama), kasus seperti di atas, sebenarnya sedikit. Kasus terbanyak adalah masing-masing kelompok Ulama yang berselisih memiliki dalil masing-masing pula, bahkan tidak jarang dalilnya sama-sama sahih untuk digunakan berhujjah, namun yang menjadikan mereka berselisih adalah wajhu istidlal (alasan pendalilan) atau Istinbathnya (cara mengeluarkan hukum dari dalilnya).

Demikian pula kasus “Pendapat Ulama fulan marjuh mutlak! Lemah ditinjau dari sisi manapun!” kasus ini sebenarnya sedikit, kejadian yang terbanyak adalah pendapat kelompok Ulama ini lebih sedikit bantahan/kritikannya dibandingkan dengan pendapat kelompok Ulama yang lainnya, sehingga pendapat yang lebih sedikit bantahannya itulah, yang dikatakan sebagai pendapat yang lebih kuat (rajih)!

Kaidah Ketiga

Menguasai bahasa ilmiyyah ulama rahimahumullah yang digunakan dalam kitab-kitab mereka dan melatih diri menggunakannya dalam mengungkapkan permasalahan ilmiyyah.

Setiap disiplin ilmu memiliki bahasa, lafadz, kosakata, dan istilah ilmiyyah tersendiri. Para ulama rahimahumullah menggunakan bahasa ilmiyyah tersebut dalam menulis kitab-kitab mereka. Jadi, maksud “bahasa ilmiyyah” disini meliputi seluruh lafadz-lafadz ilmiyyah yang digunakan para ulama untuk menjelaskan suatu disiplin ilmu syar’i tertentu, yang mana disiplin ilmu tersebut tidak bisa dipahami dengan baik kecuali dengannya.

Kitab-kitab Ulama dalam berbagai disiplin ilmu syar’i memiliki bahasa ilmiyyah masing-masing. Seperti disiplin ilmu tauhid, memiliki istilah-istilah dan lafadz-lafadz khusus yang tidak didapatkan di kitab-kitab dalam disiplin ilmu syar’i lainnya, demikian pula disiplin ilmu fikih, nahwu, dan yang lainnya, masing-masing memiliki istilah-istilah dan lafadz-lafadz khusus yang dipakai Ulama dalam menjelaskan ilmu-ilmu tersebut.

Sebagai Contoh:

Bahasa Ulama dalam disiplin ilmu tauhid, seperti istilah-istilah kamalut tauhid, kufur, nifaq, ‘Ubudiyyah, dan perbedaan muwalah dan tawalli serta antara nafyul ashlul iman dengan kamalul iman. Bahasa ulama dalam disiplin ilmu fikih dan ushul fikih, seperti istilah-istilah perbedaan antara karahah littanzih dengan littahriim, antara syuruth dengan arkaan, fasaad, shihhah, dan tahqiiqul manaath.

Bahkan tidak jarang seorang imam tertentu memiliki bahasa ilmiyyah khas tersendiri, misalnya Imam Ahmad rahimahullah memiliki lafadz-lafadz khusus seperti laa yashluhu atau Astaqbihuhu, maksudnya adalah mengharamkan. Jika beliau mengucapkan laa yanbaghi, maka maksudnya adalah terkadang mengharamkan, namun terkadang memakruhkan saja. Jika beliau mengucapkan laa yu’jibuni atau laa uhibbuhu, maka maksudnya adalah memakruhkan. Jika beliau menjawab pertanyaan seorang penanya dengan kalimat yuf’alu kadza ihthiyaathan, maka maksudnya adalah mewajibkan.

Akibat Tidak Menguasai Bahasa Ilmiyyah Tersebut

Barangsiapa yang memahami kitab-kitab Ulama tidak dengan menggunakan bahasa mereka, namun misalnya, dengan menggunakan bahasa budaya modern, bahasa media masa, dan bahasa serapan asing, maka ia akan menemui kesalahpahaman yang banyak dalam menyimpulkan isi dari kitab-kitab tersebut. Bahkan perkara yang haram, bisa dipahami sebagai suatu yang mubah, atau yang haram jadi makruh saja. Atau perkara bid’ah menjadi sunnah, bahkan syirik bisa menjadi tauhid.

Kaidah Keempat

Mencatat dan membukukan faidah-faidah yang sangat penting, baik dari kitab-kitab muthowwalah, mutawassithoh, maupun mukhtashoroh.

Dalam aktifitas mempelajari kitab-kitab Ulama, jika hanya sebatas membaca saja, tanpa mencatat dan membukukan catatan tersebut dalam buku catatan tersendiri, tidaklah cukup. Hal itu tidak banyak manfa’atnya. Berapa banyak kita dapatkan para Ulama menulis kitab-kitab ringkasan kitab ini dan itu, talkhish ini, serta taqrib itu? Mengapa demikian? Apakah tujuan mereka menulis kitab ringkasan dari kitab Ulama sebelumnya hanya sebatas ingin tulisan yang ringkas saja, sehingga lebih mudah dipahami dan dihafal? Tidaklah demikian.

Di dalam aktifitas meringkas terdapat faidah lain selain faidah di atas, yaitu ringkasan mencerminkan pemahaman peringkas. Jika Ulama saja merasa perlu menuangkan pemahaman mereka terhadap kitab-kitab Ulama sebelum mereka, dengan cara menulis ringkasannya, bagaimana lagi dengan tholibul ‘ilmi (para penuntut ilmu syar’i)? Tentu ia lebih butuh untuk melatih dan menguji pemahamannya terhadap kitab-kitab Ulama dengan cara mencatat, meringkas dan membukukannya.

Maksudnya seorang tholibul ‘ilmi jika ingin sukses dalam mempelajari kitab-kitab Ulama, maka ia perlu mencatat faidah-faidah ilmiyyah yang didapatkan dari kitab-kitab tersebut, ia tulis faidah-faidah ilmiyyah itu dalam buku catatan tersendiri, baik faidah-faidah ilmiyyah itu diambil dari kitab-kitab mukhtashoroh, mutawassithoh, maupun muthowwalah.

Bentuk catatan faidah

Seorang tholibul ‘ilmi bisa mencatat faidah-faidah itu dalam bentuk :

  1. Terkadang, karena tuntutan keadaan, cukup ia tulis dalam bentuk kata-kata singkatan yang bisa dipahami terlebih dahulu, jika ada waktu senggang nantinya, maka ia tulisnya kembali dengan rinci.
  2. Terkadang, langsung ia tulis dengan rinci faidah-faidah tersebut.
  3. Terkadang pula ia meringkas penjelasan Ulama dalam suatu bab ilmiyyah tertentu, sehingga menjadi ringkasan kitab ini dan itu.
  4. Terkadang pula ia tulis faidah-faidah ilmiyyah tersebut dalam bentuk daftar isi di sebuah buku catatan tersendiri, dan ia kelompokkan daftar isi tersebut dalam sebuah nama bab tersendiri, sesuai kelompok faidah, misalnya daftar isi bab kelompok faidah tentang lugoh, bab kelompok faidah tentang perbedaan, bab kelompok faidah tentang pembagian, kelompok faidah tentang definisi, dan lainnya.

Faidah Menerapkan Kaidah Umum Ini

Faidah yang banyak akan dapat diraih dengan menerapkan kaidah umum ini, diantaranya:

  1. Tholibul ‘Ilmi memungkinkan sewaktu-waktu memuroja’ah (mengulang kembali mempelajari) ilmu-ilmu yang telah ia baca dari kitab-kitab Ulama.
  2. Jika ia menerapkan kaidah ini dengan baik, maka ilmu-ilmu sesudahnya –in sya Allah– akan lebih mudah ia pahami.
  3. Kemampuan mengungkapkan permasalahan ilmiyyah dengan bahasa ilmiyyah yang singkat padat dan tidak berbelit-belit lewat tulisan, semakin meningkat. Karena semakin hari catatan-catatan ilmiyyahnya semakin meningkat kualitasnya. Dari mulai ia mampu menuliskan faidah-faidah yang sederhana sampai akhirnya mampu menulis faidah-faidah yang sulit dan tinggi, sehingga kemampuan ilmiyyahnya meningkat!
  4. Ketika ia mengetahui bahwa sebagian pemahaman dirinya di masa silam adalah salah, maka ia pun dengan mudah bisa membenarkannya, karena ditemukan catatannya tentang hal itu.
  5. Mengenal dengan akrab bahasa ilmiyyah para ulama dalam berbagai disiplin ilmu Syar’i.

Wa shallallahu wa sallama ‘ala Nabiyyina Muhammad, wal hamdulillahir Rabbil’alamin.

Baca juga: Kiat Sukses Membaca Kitab

***

Referensi:

  1. Diolah dari transkrip muhadharah Syaikh Shaleh Alusy Syaikh hafizhahullah di web resmi beliau Manhajiyyah fi Thalabil ‘Ilmi, dari http://saleh.af.org.sa/node/31 & Al-Manhajiyyah fi qiraa`ati kutubi Ahlil ‘Ilmi, dari http://saleh.af.org.sa/node/28.
  2. Syarhul Mumti’ ‘ala Zaadil Mustaqni’, Syaikh Muhammad Shaleh Al-‘Utsaimin.
  3. Transkrip muhadhoroh syarah Tsalaatsatil Ushul, Syaikh Sholeh Alusy Syaikh.

Ditulis oleh Ustaz Sa’id Abu Ukasyah hafizhahullah

Diterbitkan ulang dari website muslim.or.id

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *